Kisi-Kisi Soal UAS Gasal Fiqih Tahun 2015

Yusuf
Kisi-kisi UAS  Fiqih - Anak-anakku yang baik, ang rajin belajar, patuh pada orang tua, dan suka menabung dan membuang sampah pada tempatnya. Apa kabar? Semoga dalam keadaan yang sehat lahir dan batin.

Sesuai dengan reques antum di kelas, baiklah, saya share kisi-kisi soal UAS Gasal Mata Pelajaran Fiqih tahun pelajaran 2013-2014. Sebenarnya, saya juga punya soalnya sih, tapi masa mau dishare juga. hehe..

Silahkan download kisi-kisinya ya:

Download Kisi-kisi UAS FIQIH 2015

Buka link di bawah ini lalu klik file dan piluh unduh atau antum juga bisa tekan keyboard Crlt+S.
Jika masih bingung juga, jangan malu meminta bantuan kawan lain atau jika antum ada di warnet, mintalah bantuan penjaga warnet.

Download Kisi-kisi Soal UAS Gasal Fiqih Tahun 2013

Selamat belajar dan tetaplah membuang sampah pada tempatnya!
salam

Kisi-Kisi dan Latihan Soal UKK Fiqih 2015

Kisi-Kisi dan Latihan Soal UKK Fiqih 2015

Admin
Salam

Semoga kita semua selalu dalam lindangan Allah Swt.

UKK adalah sebuah makhluk yang muncul setahun sekali. Biasanya pada bulan Juni. Sebagaimana UN dan Ujian-ujian lain untuk menghadapi makhluk ini tidak ada cara lain selain belajar. hehe..

Sebagaimana yang sudah dijanjikan inilah Kisi-kisi UKK dan Latihan Soal UKK 2015. Silakan download Melalui link berikut:
1. UKK Fiqih Kelas 8
2. UKK Fiqih Kelas 7

Selamat makan

Karya Siswa: Haji yang Diwakilkan atau Badal

Admin
Haji yang Diwakilkan atau Badal
Di susun oleh:

1. A. RIZAL FATHURROHMAN
2. ANIS FITRIA
3. ARIS ANDI ELAN
4. FAKHRUNNISA
5. LULUK NURUL AINI
6. VEBRI ANTIKA NINGSIH

Makalah Haji yang Diwakilkan atau Badal

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang


Haji secara lughat (bahasa) adalah menyengaja, sedangkan menurut syara’ adalah menyegaja mengunjungi ka’bah dengan tujuan beribadah. Hukum melakukan ritual ibadah haji bagi setiap individu muslim adalah wajib sebanyak sekali seumur hidup. Haji adalah salah satu rukun Islam yang dampaknya sangat tampak bagi pelaku dimata khalayak umum, hal ini disebabkan karena haji termasuk ibadah yang memerlukan pengorbanan fisik dan material.

Di dalam ritual haji terdapat hal-hal yang harus terpenuhi yaitu berupa syarat dan rukun haji. Syarat wajib haji meliputi ; (1) Islam, (2) Baligh, (3) Berakal, (4) Istitha’ah (mampu), (5) Merdeka. Sedangkan rukun haji menurut Imam syafi’i meliputi ; (1) Ihrom, (2) Wukuf di Arafah, (3) Thawaf Ifadlah, (4) Sa’i antara Shafa dan Marwa, (5) Tahallul, dan (6) Tartib.[1]



Dalam perkembangannya jumlah jamaah haji semakin hari kian meningkat sehingga terjadi beberapa masalah terkait pelaksanaan haji, seperti keterbatasan tempat sehingga pemerintah Arab Saudi memberlakukan kebijakan – kebijakan antara lain memperluas mina, dan penambahan lantai untuk tempat thawaf. Ternyata kebijakan tersebut menjadi kontroversi dikalangan ulama Indonesia. Perluasan daerah mina ini, membuat adanya pembatasan kuota pemberangkatan calon jamaah haji dan lamanya waktu pemberangkatan. Tidak heran banyak para calon jamaah haji yang harus digantikan oleh orang lain karena hal ini. Oleh karena itu penulis akan membahas permasalahan- permasalahan terkait ibadah haji tersebut.

BAB II


PEMBAHASAN

A. Haji Badal


1. Pengertian


Badal secara lughawi berarti mengganti, merubah atau menukar.[2] Dengan demikian yang dimaksud haji badal adalah ibadah haji seseorang yang pelaksanaannya diwakilkan atau digantikan oleh orang lain.[3]


Sedangkan menurut Wikipedia, haji badal atau Haji Niyabah (Haji Gantian) ialah sejenis haji yang ditunaikan oleh seseorang untuk orang lain menurut syarat-syarat tertentu.[4]


Dengan kata lain, haji badal muncul berkaitan dengan seseorang yang telah dikategorikan wajib haji (terutama dari segi ekonomi) tapi tidak mampu melakukannya sendiri karena adanya halangan yang dilegalkan oleh syariat Islam. Maka dapat dipahami bahwa haji badal dilakukan dalam salah satu dari dua kondisi; ketika yang diwakilkan masih hidup atau yang diwakilkan telah meninggal dunia.[5]


Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud haji badal adalah haji yang dilakukan oleh seseorang untuk menggantikan kewajiban haji bagi orang lain dikarenakan adanya udzur, dan dilakukan dengan syarat-syarat tertentu.


2. Hukum membadal haji


Berkenaan dengan kondisi pertama, para ulama berbeda pendapat akan kebolehannya. Imam Hanafi, Syafi’i dan Hambali menyatakan bahwa seseorang yang istitha’ah sebelum sakit harus dibadalkan hajinya.[6] Dengan dasar hadist Rasulullah: Bahwa seorang wanita dari Khas’am bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, salah satu kewajiban Allah kepada hamba-Nya adalah haji. Ayah saya sekarang sudah sangat tua, tidak lagi sanggup duduk di atas kendaraan. Apakah aku boleh menunaikan ibadah haji atas namanya?” “Boleh,” jawab Rasulullah.(HR. Malik, as-Syafi’i, dan Bukhari).

Adapun hadits yang berkaitan dengan diperbolehkannya orang yang telah meninggal untuk dihajikan adalah dari Ibnu Abbas RA.


أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ

“Diriwayatkan bahwa ada seorang wanita dari suku Juhainah datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata: "Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk menunaikan haji namun dia belum sempat menunaikannya hingga meninggal dunia, apakah boleh aku menghajikannya?". Beliau menjawab: "Tunaikanlah haji untuknya. Bagaimana pendapatmnu jika ibumu mempunyai hutang, apakah kamu wajib membayarkannya?. Bayarlah hutang kepada Allah karena (hutang) kepada Allah lebih patut untuk dibayar”.(HR. Bukhari)

Ada juga hadist lain yang berkaitantentangmewakilkanhaji : [20]


- وَعَنْهُ أَنَّ امْرَ أَ ةً قَا لَتْ : يَا رَسُوْ لَ اللهِ إِنَّ فَرِ يْضَةَ اللهِ عَلَى عِبَا دِهِ فِى الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِى شَيْخًا كَبِيْرًا , لاَ يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ أَفَاَ حُجَّ عَنْهُ؟ قَالَ : "نَعَمْ" مُتَّفَقٌ عَليْهِ.


Artinya :
Dari Ibn Abbas r.a. :Sesungguhnya seorang wanita bertanya “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban Allah atas hamba-hambaNya dalam haji telah mengenai Bapak saya ketika ia sudah lanjut usia, ia tidak bisa lagi menaiki kendaraan (unta), maka apakah aku menghajikannya?”. Beliau menjawab : “Ya (berhajilah untuknya)”.[H.R. BUKHARI MUSLIM]


- وَعَنْ لَقِيْظِ بْنِ عَا مِرٍرَضِيَاللهُ عَنْهُ اَنَّهُ أَتَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ فَقَالَ : إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيْرٌ لاَ يَسْتَطِيْعٌ الحَجَّ وَلاَ العُمْرَةَ وَلاَالظَّعَنَ؟ قَالَ : " حُجَّ عَنْ أَبِيْكَ وَاعْتَمِرْ"


رَوَاهُ أَبُودَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَ قَالَ : حَدِ يْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ.


Artinya :


Dari Laqith Ibn Amir r.a.sesungguhnya ia mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya : “Sesungguhnya Bapak saya sudah tua, tidak mampu lagi berhaji, umrah juga tidak mampu lagi melakukan perjalanan (bepergian)?”. Beliau menjawab : “Berhajilah untuk Bapakmu dan ber-umrahlah!”


[H.R. ABU DAUD & TURMUDZI, iaberkata : HADIST HASAN SHAHIH]


Berbeda dengan mazhab Maliki, yang tidak membenarkan adanya perwakilan, karena ibadah haji harus istitha’ah dengan diri sendiri bukan istita’ah dengan perantara orang lain.[7] dengan alasan walaupun haji merupakan ibadah gabungan antara ibadah fisik (badaniah) dan materi (maliyah) akan tetapi sisi fisiknya lebih menonjol dibandingkan sisi materinya. Dengan demikian, seorang yang mampu secara ekonomi tapi tertimpa udzur syar’i sehingga tidak dapat menunaikan ibadah haji, maka tidak diwajibkan.

Jika seseorang sudah mampu (istitha’ah) melaksanakan ibadah haji namun sampai ia meninggal dunia belum melaksanakannya, maka ahli warisnya wajib mengeluarkan hartanya untuk biaya haji dan umrahnya. Pendapat ini disampaikan oleh Imam Syafi’i, Ahmad, al-Hasan dan Thawus. Sedangakn menurut Abu Hanifah dan Malik, ahli waris tidak wajib mengeluarkan harta si mayit karena kewajiban hajinya gugur, kecuali dia berwasiat, maka ahli waris wajib untuk mengeluarkan harta milik si mayit sebanyak sepertiga harta yang ditinggalkannya.[8]


3. Syarat badal haji

Selayaknya ibadah-ibadah lain dalam islam, dalam badal haji pun terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, diantaranya yaitu:


a. Fisik orang yang dibadalkan terus menerus berada dalam kondisi lemah hingga akhir hayatnya.
b. Ibadah haji tersebut diniatkan atas nama orang yang diwakilkan.
c. Semua biaya harus ditanggung oleh orang yang dihajikan.
d. Hendaknya orang yang mengerjakan ibadah haji dilakukan sesuai dengan permintaan.
e. Perwakilan haji ini hanya berlaku untuk satu orang. Dengan demikian, maka orang yang menggantikan dua orang sekaligus maka hajinya tidak sah.
f. Disyaratkan bagi orang yang menggantikan harus dewasa, berakal, merdeka dan laki-laki.
g. Disyaratkan pula si pengganti telah menunaikan ibadah haji. Hal ini didasarkan pada pendapat madzhab Syafi’i dan Hambali, Orang yang menggantikan harus melaksanakan seluruh rangkaian ibadah haji dengan sempurna. Jika ada kesalahan yang dilakukannya sehingga feadah tersebut menjadi batal atau rusak, ia harus menggantinya. Sebagaimana pada hadist Nabi dari Ibnu Abbas ra.


عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ قَالَ مَنْ أَخٌ لِي أَوْ قَرِيبٌ لِي قَالَ حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ قَالَ لَا قَالَ حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ

“Diriwayatkanbahwa Nabi shalla Allahu 'alaihi wa sallam mendengar seseorang mengucapkan “ Labbaika ‘an Syubrumah” (ya Allah, aku memenuhi seruanmu untuk Syubrumah), beliau bertanya: "Siapakah Syubrumah tersebut?" Dia menjawab; saudaraku! Atau kerabatku! Beliau bertanya: "Apakah engkau telah melaksanakan haji untuk dirimu sendiri?" Dia menjawab; belum! Beliau berkata: "Laksanakan haji untuk dirimu, kemudian berhajilah untuk Syubrumah.”(HR. Abu Daud, Ibnu Hibban, dan Hakim).

Sedangakan menurut madzhab Hanafi dan Maliki, orang yang belum haji boleh menghajikan orang lain dan sah menurut hukum, tetapi orang tersebut berdosa karena belum haji untuk dirinya sendiri.[9]

4. Mengambil upah dari badal haji

Badal haji hanya dikhususkan untuk seseorang yang tidak mampu secara fisik ataupun telah meninggal namun secara ekonomi telah masuk dalam kategori wajib haji. Dalam prakteknya, ada beberapa orang yang mengambil upah atau bayaran diluar akomodasi haji itu sendiri, kemudian bagaimana hukumnya?, apakah orang yang menghajikan akan tetap mendapat pahala sebagaimana orang yang digantikan?.

MenurutAl-Lajnah Ad-Daimah Lil IftaJika seseorang mengambil upah untuk menggantikan orang lain karena ingin mendapatkan dunia, maka dia dalam keadaan bahaya besar dan dikhawatirkan tidak diterima hajinya. Sebab dengan itu berarti dia lebih mengutamakan dunia atas akhirat. Tapi jika seseorang mengambil upah badal haji karena ingin mendapatkan apa yang di sisi Allah, memberikan kemanfaatan kepada suadaranya yang muslim dengan menggantikan hajinya, untuk bersama-sama kaum muslimin dalam mensyi’arkan haji, ingin mendapatkan pahala thawaf dan shalat di Masjidil haram, serta menghadiri majelis-majelis ilmu di tanah suci, maka dia mendapatkan keuntungan besar dan diharapakan dia mendapatkan pahala haji seperti pahala orang yang digantikannya.[10]

Namun berbeda dengan para imam madzhab, menurut imam Syafi’i dan Maliki memperbolehkannya, sedangkan mazhab Hanafi tidak memperbolehkannya.

Ibadah haji adalah ibadah yang cukup melelahkan dan membutuhkan fisik yang prima, maka menurut pendapat saya sebagaimana kaidah umum berlaku, bolehlah kita menberi upah sekedarnya sebagai tanda terima kasih, dan itu tidak bertentangan selama adanya kerelaan diantara dua pihak, islampun selalu mengajarkan kita untuk selalu bijaksana dalam segala hal. Mengenai ibadah haji yang tidak diterima sebagaimana dijelaskan oleh Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta,menurut pendapat saya hal itu berlaku pada seseorang yang menjadikan pengganti haji badal sebagai profesi atau mementukan tarif sehingga menjadikan salah salah satu pihak merasa keberatan atau tidak saling rela.


Haji yang Diwakilkan atau Badal


B. Masalah Haji Perempuan


Ibadah haji dan umrah diwajibkan sekali seumur hidup bagi muslim yang akil baligh dan merdeka. Kewajiban ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Dalam suatu hadits yang artinya


“Hai Rasulullah, apakah ada kewajiban jihad bagi perempuan? Rasulullah menjawab: ‘ya, bagi mereka ada kewajiban jihad tanpa perang, yakni haji dan umrah’ (H. R. Ahmad dan Ibnu Majah)”

Hadist di atas menjadi dalil tidak adanya kewajiban jihad dalam arti berperang bagi perempuan, namun disisi lain ada kewajiban mengerjakan haji dan umrah.


1. Penambahan syarat wajib


Syarat- Syarat wajib haji bagi perempuan sesungguhnya sama dengan syarat-syarat wajib haji bagi pria, namun terdapat penambahan yaitu harus disertai dengan suami atau mahramnya. Hal ini masih diperdebatkan dikalangan ulama. Yang dimaksud dengan mahram secara bahasa adalah seseorang yang diharamkan menikah dengannya, sedangkan menurut istilah yaitu seorang laki-laki yang diharamkan menikah dengan seorang perempuan selamanya

karena nasab, seperti hubungan bapak, anak, saudara dan paman, atau karena sebab yang mubah seperti suami, anak suami, mertua, saudara sesusuan.[11]

Abu Hanifah dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya mengatakan bahwa seorang wanita tidak boleh melaksanakan ibadah haji kecuali dengan mahramnya. Pendapat ini didasarkan pada hadist Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa dia mendengar Nabi SAW. bersabda :


“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita dan janganlah sekali-kali seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya”. Lalu ada seorang laki-laki yang bangkit seraya berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah mendaftarkan diriku untuk mengikutu suatu peperangan sedangkan istriku pergi menunaikan hajji”. Maka Beliau bersabda: “Tunaikanlah hajji bersama istrimu” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadits di atas menunjukkan bahwa mahram adalah syarat wajib haji bagi seorang wanita muslimah.[12] Demikian juga pendapat dari Abu Hanifah, Ahmad, al-Hasan, Ikrimah, Ibrahim al-Nakha’i, Thawus, Ishak, dan al-Tsauri.

Sedangkan menurut Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad, mahram bukanlah merupakan syarat.

a. Menurut as-Syafi’i,perempuan bisa pergi dengan perempuan-perempuan muslim yang dapat dipercaya.
b. Menurut Ibnu Sirin, perempuan bisa pergi bersama laki-laki dari kaum muslimin
c. Menurut Auza’i, perempuan bisa pergi bersama orang-orang yang adil

Pendapat yang kuat adalah bahwa mahram bukanlah syarat wajib haji bagi wanita muslimah berdasarkan hadist dan atsar sahabat. Tetapi boleh bersama rombongan perempuan yang bisa dipercaya, khususnya jika keadaan aman.
Dari beberapa pendapat di atas maka dapat di ambil kesimpulan bahwa pensyaratan tersebut masih menjadi perdebatan, dan alangkah sebaiknya jika memang haji perempuan didampingi oleh mahramnya karenaakan terhindar dari fitnah dan marabahaya. Dengan demikian Islam dipahami sebagai agama yang selalu menjaga kehormatan dan keselamatan wanita, sekaligus memberikan solusi-solusi yang bisa dipertanggung jawabkan baik secara agama maupun secara sosial.[13]

2. Izin Suami


Hak dan kewajiban bersuami istri seyogyanya harus terus terpelihara. Izin berpergian, apalagi untuk menunaikan ibadah haji tentu harus diminta oleh istri kepada suaminya. Persoalan diberi izin atau tidak, merupakan hal yang manusiawi.


Disebutkan dalam Fiqh al-Sunnah, bagi perempuan tidak dibutuhkan izin suaminya diwaktu keluar untuk menunaikan haji fardhu karena tidak menjadi syarat isthita’ah baginya. Sebab haji adalah ibadah yang wajib baginya dan makhluk tidak boleh taat dalam mendurhakai Allah. Adapun haji sunat maka suami boleh mencegahnya.


Allah SWT mewajibkan bagi kaum perempuan untuk taat kepada Allah dan jga taat pada suaminya. Ia harus mengerjakan semua itu. Istri tidak boleh melalaikan kewajibannya. Jika istri tetap melakukannya, maka suami boleh melarangnya. Hanya saja ketika Allah memerintahkannya untuk melaksanakan suatu kewajiban, berhaji misalnya, maka suami tidak boleh melarangnya.[14]


3. Penunda Haid

Menunaikan ibadah haji bagi para calon jemaah haji wanita usia subur, terdapat halangan haid yang dapat menyebabkan tertundanya rukun haji yaitu thawaf (mengelilingi ka’bah) tidak bisa bersama muhrim, keluarga, atau bahkan kelompok terbangnya (kloter) nya, yang dapat mengganggu psikologis calon jemaah haji sehingga dapat mengalami gangguan psikologis dan menggangu kesempurnaan hajinya. Disamping itu karena mengalami haid dapat menyebabkan calon jemaah haji tidak dapat melaksanakan sholat arba’in (40 waktu sholat) di mesjid nabawi yang merupakan idaman setiap orang yang menunaikan ibadah haji.


Perkembangan ilmu kedokteran menawarkan obat menunda haid dalam berhaji. Sehingga dapat melakukan thawaf dan rukun haji lainya bersama di Mekkah, serta dapat sholat arba’in di Madinah sebagaimna yang diinginkan tanpa terhalang haid, sehingga calon jemaah haji dapat menunaikan ibadah haji dengan sempurna.


Adapun aspek hukum penggunaan Pil Anti Haid, menurut Syekh Mar’i Al Maqdisy Al-Hanbali, Syaikh Ibrahim bin Muhammad (keduanya ahli fiqih madzhab Hanbali) dan yusuf Al- Qardawy (Ahli fiqih Kontemporer) berpendapat bahwa wanita yang mengkhawatirkan hajinya tidak sempurna, maka dia boleh menggunakan obat menunda haidnya. Alasan mereka adalah karena wanita itu sulit menyempurnakan hajinya, sedangkan teks atau dalil yang melarang menunda haid itu tidak ada. Selain itu menurut fatwa Majlis

Ulama Indonesia (MUI) tanggal 12 Januari 1979 membolehkan penggunaan pil anti haid dengan penjelasan sebgai berikut:


a. Penggunaan Pil Anti Haid untuk kesempatan ibadah haji hukumnya mubah.
b. Penggunaan Pil Anti Haid dengan maksud agar dapat mencukupi puasa Ramadhan sebulan penuh, hukumnya makruh. Akan tetapi, bagi perempuan yang susah mengqadha pada hari lain hukumnya mubah.
c. Penggunaan Pil Anti Haid selain dari dua hal tersebut di atas, hukumnya tergantung pada niatnya. Apabila untuk perbuatan yang menjurus pada pelanggraan hukum agama maka hukumnya haram.

Kebolehan penggunaan Pil Anti Haid ini sesuai dengan dasar kaidah fiqhiyyah yang menyatakan, pada dasarnya segala sesuatu hukumnya mubah sampai ada dalil yang melarangnya.

Para fuqaha’ ( ulama ahli fiqih) mayoritas sependapat menunda haid untuk berhaji dengan obat-obatan. Hal ini sebagaimana dasar kaidah fiqhiyyah yang menyatakan, pada dasarnya segala sesuatu hukumnya mubah sampai ada dalil yang melarangnya.

Selain dengan Pil Anti haid, langkah yang dapat dilakukan jemaah haji perempuan adalah melakukan langkah antisipasi sebagai berikut:

a) Rata-rata waktu haid 7 hari
b) Jamaah haji harus ingat betul kapan mulai dan berakhir haidnya.
c) Kalau haid mulai tanggal 9 atau tanggal 10, maka akan berakhir tanggal 15 atau tanggal 16. Pada tanggal 16 atau tanggal 17 sudah bisa Thawaf Ifadhah.
d) Kalau haid berakhir tanggal 9 atau mulai haid tanggal 11, maka pada tanggal 10, sudah bisa melakukan Thawaf ifadhah
e) Demikian juga kalau haid berakhir tanggal 10 atau mulai haid tanggal 12, maka pada tanggal 11 sudah bisa melaksanakan thawaf ifadhah.
f) kecermatan mengantisipasi waktu mulai dan berakhirnya haid, harus sangat diperhatikan terutama bagi jamaah haji gelombang 1, yang akan segera pulang ke tanah air setelah selesai manasik haji di Mina dan tinggal di Makkah hanya beberapa hari saja untuk melaksanakan Thawaf ifadhah, sa’i dan Thawaf Wada. Sedang bagi jamaah haji gelombang11, masih banyak waktu tinggal di Makkah sebelum berangkat ke Madinah.[15]

C. Mina jadidul jadid

Dalam rangka menyambut dan melayani jamaah haji, pemerintah Arab Saudi telah berupaya memperhatikan keselamatan, kenyamaanan, dan estetika jamaah haji. Masalah jumlah jamaah yang tidak sebanding dengan tempat-tempat tertentu di Makkah yang digunakan untuk ibadah telah mengakibatkan penuh sesak dan desak-desakan para jamaah.

Kondisi ini sudah tentu berpotensi menimbulkan kecelakaan. Dan bahkan menimbulkan korban jiwa yang jumlahnya tidak sedikit, seperti yang terjadi di terowongan Mina (Muaisiin) sekitar dua puluh tahun lalu.

Untuk menghindari jatuhnya korban lebih lanjut, dan untuk meningkatkan kenyamanan para jamaah haji maka pemerintah Arab Saudi yang menguasai tanah hijaz (Mekkah, Madinah, dan Ta’if) mengambil sejumlah langkah seperti perluasan Masjidil Haram, pelebaran jamarat bahkan membuatnya bertingkat empat, perluasan tempat Sa’i dan membuatnya bersusun tiga tingkat, dan pembangunan kemah jamaah haji di luar Mina untuk ibadah mabit di Mina.

Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut tidak sedikit para jamaah haji bingung dan ragu untuk melaksanakan ibadah haji di tempat-tempat tersebut. Timbulah pertanyaan-pertanyaan hukum apakah ibadah di tempat-tempat perubahan itu masih dapat dibenarkan oleh syara’ dan tidak mengakibatkan tidak sahnya haji seseorang?[16]

1. Hukum Mabit di Luar Mina

Yang terjadi sekarang sesungguhnya bukanlah perluasan Mina (tawsi’atul mina), sehingga seolah-olah menghasilkan sebutan mina jadid (Mina yang baru), tetapi adalah penempatan perkemahan di luar kawasan Mina yang digunakan sebagai tempat mabit, dalam rangkaian melaksanakan wajib haji, yaitu melempar jumrah di Mina (jumrah ’ula, wustha’ dan aqabah).


Perkemahan yang ditempatkan di luar Mina itu, beberapa tahun terakhir ini, digunakan untuk mabit para jamaah haji dari Indonesia dan dari Turki. Dengan kata lain, ratusan tenda tersebut berdiri di kawasan luar Mina dan masuk kawasan Muzdalifah.[17]

Apabila mina jadid itu telah masuk wilayah di luar mina maka terdapat beberapa pendapat:

a. Sebagian ulama berpendapat dan membolehkan mabit di Mina Jadid, serta sah mabit di sana, dengan syarat perkemahan tersebut bersambung (ittishal) dengan perkemahan yang ada di Mina Qadim. Pendapat ini di-qias-kan dengan sahnya salat jum’at di masjid. Jika masjid sudah penuh maka jamaah bisa dan sah shalat di luar masjid asalkan shafnya bersambung. Begitu pula mabit di luar Mina (Wadi al-Muhassir) adalah sah menurut syara’, karena kemah-kemah tersebut dianggap masih bersambung (ittishal) dengan kemah-kemah yang ada di Mina.

Kebolehan ini sejalan dengan kaidah-kaidah syar`i sebagai berikut:

1) Al-Dharuratu Yuzalu (Sesuatu yang menimbulkan bahaya harus dihilangkan)
2) Al-Masyaqqah tajlibu al-taisir (kesulitan mendatangkan kemudahan)
3) Al-Amru idza dhaqa ittasa’a (jika suatu keadaan menyempit dan menyulitkan maka perlu diperluas dan dipermudah)
4) Hukm al-hakim ilzamun wa yarfa’u al-khilaf (kebijakan penguasa mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat)

b. Para ahli hukum (fuqaha) dari kalangan sahabat berpendapat bahwa kewajiban mabit di Mina pada malam-malam tasyriq hanya bagi orang yang mampu melakukannya, dan mendapatkan tempat yang layak. Ini adalah pendapat mayoritas ulama (jumhur). Beberapa dalil menunjukkan gugurnya kewajiban bermalam di Mina bagi orang yang tidak mendapatkan tempat yang pantas, dan ia boleh bermalam di mana saja, baik di Makkah, Muzdalifah,’Aziziyah, atau selainnya. Selain itu, ulama Saudi Arabia telah mengeluarkan fatwa bahwa mabit di perkemahan perluasan Mina hukumnya sah, sebagaimana pendapat Syekh Muhammad bin Sholeh bin Utsaimin dan Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.[18]

D. Sa’i dan Thawaf lantai atas

Mas’a (tempat sa’i) berada pada jarak 130 m sebelah selatan dari Masjidil Haram. Dimana di atas bukit tersebut telah di bangun atap bulat yang menyerupai kubah. Bukit inilah yang dinamakan bukit Shafa, tempat sebagai awal permulaan melakukan sa’i. Sedangkan bukit Marwa adalah bukit yang terletak kira-kira 300 m arah timur laut dari rukun Syami, inilah tempat mengakhiri sa’i. Pemerintah Arab Saudi dalam hal ini adalah Khadimul Haramain Raja Abdullah bin Abdul Aziz telah melakukan perluasan pada tempat sa’i. Dalam melakukan perluasan tersebut, beliau telah mempertimbangkan keputusannya dengan mengundang dan meminta pendapat dari Hay’at Kibar al-Ulama (Majelis Ulama Terkemuka). Dalam hal ini Khadimul Haramain Raja Abdullah bin Abdul Aziz meminta kepada Hay’at Kibar al-Ulama untuk menyelenggarakan sidang khusus terkait rencana perluasan mas’a.

Dalam sidang tersebut mayoritas Hay’at kibar al-Ulama menolak rencana perluasan mas’a. Hal ini tersebut dikarenakan Mas’a hasil perluasan Raja Saud bin Abdul Aziz telah mencakup seluruh wilayah Mas’a. Mayoritas anggota Hay’at Kibar al-Ulama menyarankan untuk menambah bangunan diatasnya, bukan dengan memperluas ke samping. Fatwa tersebut merujuk kepada fatwa sebelumnya, yaitu: fatwa no 21 tanggal 21/11/1393 H (1973 M) yang membolehkan bersa’i di atap mas;a (lantai atas) jika diperlukan, dan fatwa para ulama di bawah pimpinan Syeikh Muhammad Ibrahim tentang batas-batasa Shafa dan Marwah.

Keselamatan, kenyamanan dan estetika kiranya menjadi perhatian pemerintah Arab Saudi dalam menyambut dan melayani para jamaah haji sebagai tamu-tamu Allah SWT. Bertolak dari semua itu maka pemerintah setempat mengadakan perombakan beberapa tempat dilaksanakannya ibadah haji antara lain perluasan Masjidil Haram di Makkah, pelebaran jalan raya, pembuatan jalan baru, pembuatan terowongan, pelebaran Jamarat bahkan membuatnya bertingkat-tingkat bersusun ke atas sampai empat atau lima tingkat, perluasan tempat sa’i dan membuatnya bersusun tiga atau empat tingkat, dan lain-lain.

Perluasan mas`a atau tempat pelaksanaan sa`i yang sekarang disebut sebagai mas`a jadid (mas`a baru) sudah dipergunakan pada musim haji 1429 H ini. Berarti jamaah haji melakukan sa’i dari Shofa ke Marwah melalui tempat hasil tausi’ah (perluasan) dan dari Marwah ke Shofa melalui mas`a yang lama. Pemerintah Saudi menambah lebar mas`a dari sekitar 20 m menjadi 40 m.

Dengan demikian, perluasan ini menambah luas keseluruhan lokasi sa`i menjadi sekitar 72.000 m2, dari yang sebelumnya hanya 29.400 m2. Proyek perluasan mas`a ini telah dimulai tahun 2007, setelah musim haji usai. Perluasan ini adalah yang terbesar sepanjang sejarah.

Apakah mas`a setelah mengalami perluasan itu dipandang sebagai mas`a untuk melakukan sa`i antara Shofa dan Marwah? Apakah sah sa`i yang dilakukan di mas`a jadid itu? Para ulama memberikan ketentuan bahwa panjang mas`a adalah jarak antara bukit Shafa dan Marwa, sedangkan lebarnya berdasarkan fakta dan praktik yang dilakukan dari masa ke masa sejak zaman Rasulullah hingga kini.

Jika perluasan mas`a itu menjadi satu mas`a saja, dalam pengertian mas`a yang lama digunakan satu arah dan perluasan mas`a yang baru digunakan searah juga maka hukumnya sah karena para jamaah haji tetap melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah.


Rapat pleno Syuriyah PBNU memilih pendapat bahwa sa’i pada mas`a setelah mengalami perluasan hukumnya sah karena memang tidak adanya nash yang sharih mengenai batas lebar mas`a pada zaman Nabi sehingga dinding mas`a yang ada sebenarnya bukanlah batas mas`a. Tidak ditemukan keterangan yang pasti mengenai batas lebar mas`a, yang jelas ketentuannya hanyalah panjang mas`a antara Shafa dan Marwah. Sementara berdirinya bangunan atau tembok di sekitar mas`a yang berubah-ubah; kadang menyempit dan kadang meluas, membuktikan bahwa agama tidak membatasi lebar mas`a.

Berikut ini adalah penjelasan dalam kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj:

“Kami tidak menemukan perkataan ulama ukuran lebarnya mas`a. Diamnya mereka dalam hal ini karena tidak diperlukan. Karena yang wajib (bagi seorang yang bersa’i) adalah menjelajahi area antara bukit Shafa dan Marwah untuk setiap kali putaran. Jika melenceng sedikit dari jalur sa’inya, tidak mengapa sebagaimana dijelaskan Imam Syafi’i.” (Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj 10/359).Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj juga dijelaskan: "Perkiraan mas`a selebar 35 hasta atau sekitar itu adalah perkiraan saja, karena tidak ada nash dari hadits nabi yang kita ketahui. Oleh karena itu melenceng sedikit (pada waktu sa’i dari mas`a yang ada tidak menjadi masalah, berbeda dengan melenceng yang melebar terlalu banyak, bisa keluar dari hitungan lebar mas`a, walaupun hal itu masih diperkirakan juga.[19]


BAB III


PENUTUP


Kesimpulan

Dari pemaparandi atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud haji badal secara bahasa adalah mengganti, menukar atau merubah, sedangkan secara istilah adalah haji yang dilakukan oleh seseorang untuk menggantikan kewajiban haji bagi orang lain dikarenakan adanya udzur, dan dilakukan dengan syarat-syarat tertentu.Para ulama sepakat tentang kebolehan membadal haji, namun menurut madzhab Maliki tidak mewajibkan selama orang tersebut tidak berwasiat.MenurutAl-Lajnah Ad-Daimah Lil IftaJika seseorang mengambil upah untuk menggantikan orang lain karena ingin mendapatkan dunia, maka dia dalam keadaan bahaya besar dan dikhawatirkan tidak diterima hajinya.

Syarat- Syarat wajib haji bagi perempuan sesungguhnya sama dengan syarat-syarat wajib haji bagi laki-laki, namun terdapat penambahan yaitu harus disertai dengan suami atau mahramnya. Ada ulama yang mengatakan mahram itu syarat, dan ada ulama yang mengatakan bahwa mahram itu bukan syarat. Izin suami menjadi hal penting bagi seorang istri, namun tidak semestinya suami melarang istri untuk menjalankan kewajiban kepada tuhannya. Dalam menjalankan ibadah haji, perempuan boleh memakai pil penunda haid ibadah hajinya tidak terganggu.

Sesungguhnya mina jadid adalah penempatan perkemahan di luar kawasan Minayang digunakan sebagai tempat mabit, dalam rangkaian melaksanakan wajib haji, yaitu melempar jumrah. Tujuan perluasan mina yaitu untuk menghindari kecelakaan/ jatuhnya korban. Menurut Fatwa Ulama Saudi Arabia Mabit di perkemahan perluasan Mina hukumnya sah, begitu pula MUI. Hal tersebut didasarkan pada kaidah fiqhyah serta adanya rukhsah.

Melakukan sa’i dan thawaf di mas’a jadid menurut Bahtsul Masail dan pemerintah Saudi Arabia adalah sah hukumnya.


DAFTAR PUSTAKA

Almalanji.wordpress.com/haji-menggantikan-orang-lain-badal-bag-1, diakses 20 September 2013 pukul 15:23.

Kemenag RI, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah. 2011. Fikih Haji. Jakarta: T.P.

Manan , Abdul. 2007. Fiqh Lintas Madzhab. Kediri: t.p.

Munawwir, Ahmad Warson. T.t. al-Munawwir Kamus arab Indonesia. T. K: T.P .

Sarmidihusna.blogspot.com, hukum-mabit-di-mina, diakses 25 September 2013 pukul 22:01.

wikipedia.org/wiki, diakses 19 September 2013pukul 10:22.

www.Eramuslim.com,Bolehkah Wanita Bepergian Tanpa Muhrim dan Apa Batasannya Menurut Islam, diakses 26 September 2013 pukul 10:57.

www.jurnalhaji.com/rukun-haji/mengenal-lebih-jauh-tentang-badal-haji, diakses 19 September 2013pukul 10:30.

www.nu.or.id, Bahtsul Masail Perluasan Mas’a dan Mina, diakses 25 September 2013 pukul 22:19.

Zuhdi, Masjfuk. 1992. Studi Islam . Jakarta: Rajawali Press.


SUMBER :

http://riffai47.blogspot.com/2013/11/makalah-masailul-fiqih-bab-hajji.html

Minggu17 November 2013

Bukumilik Bu Hamidah. JUDUL BUKU : IMAM NAWAWI / TARJAMAH RIYADHUS SHALIHIN Jilid 2. PENULIS : - Agus Hasan Bashori Al Sanuwi.Lc,M.Ag. - Muhammad Syu`aib Al Faiz Al Sanuwi,Lc. TAKHRIJ : SyaikhM.Nashiruddin Al Albani PENERBIT : Duta Ilmu TAHUN TERBIT : Cetakan1 = Juli 2003 KOTA : SURABAYA, INDONESIA

catatan:

[1]] Abdul Manan, Fiqh Lintas Madzhab (Kediri: T.P, 2007), hlm. 107-108.

[2][2] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus arab Indonesia, hlm. 65-66.

[3][3] Kemenag RI, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Fikih Haji (Jakarta: t.p, 2011), hlm. 303.

[4][4] wikipedia.org/wiki, diakses 19 September 2013pukul 10:22.

[5][5] www.jurnalhaji.com/rukun-haji/mengenal-lebih-jauh-tentang-badal-haji, diakses 19 September 2013pukul 10:30.

[6][6] Kemenag RI, Fikih, hlm. 303.

7][7] Kemenag RI, Fikih, hlm. 304.

[8][8]Ibid,hlm. 306.

[9][9]Ibid, hlm. 305.

[10][10] almalanji.wordpress.com/haji-menggantikan-orang-lain-badal-bag-1, diakses 20 September 2013 pukul 15:23.

[11][11] Masjfuk Zuhdi, Studi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1992), hlm.77-78.

[12][12]www.Eramuslim.com,Bolehkah Wanita Bepergian Tanpa Muhrim dan Apa Batasannya Menurut Islam, diakses 26 September 2013 pukul 10:57.

[13][13]ibid.

[14][14]Kemenag RI, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Fikih, hlm. 277-278.

[15][15]Ibid, hlm. 287.

[16][16]sarmidihusna.blogspot.com, hukum-mabit-di-mina, diakses 25 September 2013 pukul 22:01.

[17][17]www.nu.or.id, Bahtsul Masail Perluasan Mas’a dan Mina, diakses 25 September 2013 pukul 22:19.

[18][18]sarmidihusna.blogspot.com, hukum-mabit-di-mina, diakses 25 September 2013 pukul 22:01.

[19][19]www.nu.or.id, Bahtsul Masail Perluasan Mas’a dan Mina, diakses 25 September 2013 pukul 22:19

Baca juga: Proses Ibadah Haji

Hukum Berobat Menggunakan Makanan Haram

Admin
Disusun oleh Kelompok : AZ ZAHRA
  • Ahmad Dany S.
  • Ahmad Mukhtar Ali
  • Defiana Rahmawati
  • Fadriatul Khoiriyah
  • Febriyanti Muslimah
makalah hukum merokok

 A. Pendahuluan

Sebagai orang muslim, kita selalu terikat oleh aturan haram dan halal dalam memilih makanan, minuman, dan obat. Segala sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi tubuh manusia dihalalkan oleh syariat islam, sedangkan segala sesuatu yang mendatangkan madharat dan membahayakan bagi tubuh manusia diharamkan oleh syariat islam. Allah berfirman dalam Q.S. Al A`raf : 157 yang artinya “Allah menghalalkan segala yang baik baik dan mengharamkan segala yang buruk buruk.“ Allah juga berfiman dalam QS.Al Maidah : 90 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minuman) khamar, judi, berkurban untuk berhala,mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan yang keji. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.“ Dari kedua ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Allah memerintahkan umatnya memakan makanan yang halal,dan melarang memakan makanan yang haram. Dalam syariat islam jika kita berada dalam keadaan darurat maka kita boleh memanfaatkan makanan haram atau minuman haram sebagai obat, namun banyak ulama` yang berpendapat bahwa dalam keadaan darurat sekalipun, dilarang mengonsumsi ataupun memanfaatkan makanan dan minuman haram sebagai obat.

B. Pembahasan

Perbedaan pendapat terjadi dalam menentukan hukum mengonsumsi atau memanfaatkan makanan atau minuman haram sebagai obat ataupun dalam keadaan darurat. Ada tiga pendapat yaitu :
  • # boleh jika dalam keadaan darurat atau sebagai obat
  • # haram atau tidak boleh mengonsumsi atau memanfaatkan makanan dan minuman haram sebagai obat
  • # makruh untuk mengonsumsi atau memanfaatkan makanan dan minuman haram sebagai obat
Kemudian diambil kesimpulan bahwa mengonsumsi atau memanfaatkan makanan dan minuman haram sebagai obat hukumnya adalah makruh.

Syekh Taqiyyudin An Nabhani dalam kitabnya yang berjudul Asy Syaikh Syiyah Alislamiyah telah menjelaskan dimakruhkanya mengonsumsi atau memanfaatkan makanan dan minuman haram sebagai obat dengan menggabungkan dua hadis yang memiliki keterkaitan dalam masalah ini. Disatu sisi ada hadist yang mengharamkan mengonsumsi atau memanfaatkan makanan dan minuman haram sebagai obat, misalnya saat Rasulullah bersabda, “sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu dari apa-apa yang diharamkan“ (HR bukhari dan baihaqi dari ibnu hibban). Rasulullah juga bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat dari tiap-tiap penyakit. Hendaklah kalian berobat dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang diharamkan“ (HR Abu dawud). Disisi lain ada riwayat yang menyatakan bahwa mengonsumsi atau memanfaatkan makanan dan minuman haram sebagai obat hukumnya adalah halal, yaitu saat rombongan dari suku `ukl dan suku Urayanah mendatangi Rasulullah, kemudian ada seorang diantara mereka yang terkena penyakit perut saat masih berada di madinah, kemudian Rasulullah menyuruh mereka mencari segerombolan unta untuk meminum air susunya dan air kencingnya. (HR Muslim)_ menurut kesimpulan dari kedua hadist tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum berobat menggunakan makanan haram adalah makruh. Atas dasar itu maka penggunaan alkohol sebagai obat, sebagai desinfektan klinis, sebagai bahan pelarut obat, atau penggunaan kotoran sebagai bahan terapi, penggunaan bagian tubuh babi sebagai selongsong kapsul dan sebagainya hukumnya adalah makruh.

C. Kesimpulan

Banyak pendapat yang menyatakan mengenai haram atau halalnya berobat dengan menggunakan makanan dan minuman haram. Menurut keterkaitan dua buah hadis telah disimpulkan bahwa mengonsumsi atau memanfaatkan makanan dan minuman haram sebagai obat hukumnya adalah makruh. Jadi kita boleh menggunakan makanan ataupun minuman haram sebagai obat, namun perlu diingat bahwa sesuatu yang makruh jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Jadi sebisa mungkin kita hanya menggunakan bahan-bahan yang suci dalam berobat.

  Referensi
www.yaslaalazhar.org/berobat-menggunakan-makanan-dan-minuman-haram
Buku LKS Fikih kelas 8

baca juga karya siswa lainnya dengan tema yang sama: Berobat Dengan Menggunakan Makanan Yang Haram

HUKUM MEROKOK DALAM ISLAM

Admin
tugas siswa: hukum rokok

KELOMPOK AL-AMIRUL

ANGGOTA KELOMPOK :
1. ABI SUFYAN
2. M. DIMAS PUTRA W.S
3. NAFA UMMA
4. SIFAUL BILAD
5. SITI NASIKHATUL M.

A. PENDAHULUAN

Tembakau yang merupakan bahan baku rokok telah dikenal oleh umat Islam pada akhir abad ke-10 Hijriyah, yang dibawa oleh para pedagang Spanyol. Pada dasarnya tidak ada pembahasan khusus di dalam Al-Quran dan hadits tentang status rokok dan merokok. Dalil-dalil nash yang dipakai cenderung tidak persis dan khusus mengarah pada rokok. Oleh karena itu, banyak ulama yang berselisih pendapat tentang hukum rokok. Berikut penjelasan mengenai hukum rokok dalam islam.

B. PEMBAHASAN

1. MUBAH

Semenjak itulah kaum muslimin mulai mengenal rokok. Sebagian kalangan berpendapat bahwa merokok hukumnya boleh atau mubah. Allah SWT berfirman dalam QS. Al Baqarah ayat 29: “Dia-lah Allah, yang telah menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. Al Baqarah: 29).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah di atas bumi ini halal untuk manusia termasuk tembakau yang digunakan untuk bahan baku rokok. Namun hal ayat ini dianggap kurang kuat karena segala sesuatu yang diciptakan Allah hukumnya halal bila tidak mengandung hal-hal yang merusak dan membahayakan tubuh. Sementara rokok mengandung ribuan racun yang secara kedokteran telah terbukti merusak dan membahayakan kesehatan. Para pakar kesehatan telah menetapkan adanya 3000 racun berbahaya, dan 200 diantaranya amat berbahaya, bahkan lebih bahaya dari Ganja (Canabis Sativa).Bahkan membunuh penggunanya secara perlahan, padahal Allah telah berfirman: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisaa: 29).

2. MAKRUH

Sebagian para ulama dari NU, mempertahankan makruhnya merokok dan tidak mengharamkan merokok, kecuali bagi mereka yang punya penyakit yang akan bertambah parah jika merokok, maka haram hukumnya merokok bagi dia. Sebagian kalangan yang lain juga berpendapat bahwa merokok hukumnya makruh, karena orang yang merokok mengeluarkan bau tidak sedap. Hukum ini diqiyaskan dengan memakan bawang putih mentah yang mengeluarkan bau yang tidak sedap. Sebagaimana ditunjukkan dalam sabda Nabi Muhammad SAW:: “Barang siapa yang memakan bawang merah, bawang putih (mentah) dan karats, maka janganlah dia menghampiri masjid kami, karena para malaikat terganggu dengan hal yang mengganggu manusia (yaitu: bau tidak sedap).” (HR. Muslim).

Namun pendapat ini juga tidak kuat, karena dampak negatif dari rokok bukan hanya sekedar bau tidak sedap. Lebih dari itu menyebabkan berbagai penyakit berbahaya diantaranya kanker paru-paru. Mengingat keterbatasan ulama masa silam dalam memahami dampak kesehatan ketika morokok, mereka hanya melihat bagian luar yang nampak saja. Itulah bau rokok dan bau mulut perokok. Jelas ini adalah tinjauan yang sangat terbatas.

3. HARAM

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa merokok hukumnya haram, pendapat ini ditegaskan oleh Qalyubi (Ulama Mazhab Syafi’i,). Dalam kitab Hasyiyah Qalyubi ala Syarh al-Mahalli (jilid I, Hal. 69), beliau mengatakan: “Ganja dan segala obat bius yang menghilangkan akal, zatnya suci sekalipun haram untuk dikonsumsi, oleh karena itu para ulama kami berpendapat bahwa rokok hukumnya juga haram, karena rokok dapat membuka jalan agar tubuh terjangkit berbagai penyakit berbahaya”.

Merokok juga pernah dilarang oleh penguasa khilafah Utsmani pada abad ke-12 Hijriyah dan orang yang merokok dikenakan sanksi, serta rokok yang beredar disita pemerintah, lalu dimusnahkan. Para ulama menegaskan haramnya merokok berdasarkan kesepakatan para dokter di masa itu, yang menyatakan bahwa rokok sangat berbahaya terhadap kesehatan tubuh. Ia dapat merusak jantung, penyebab batuk kronis, mempersempit aliran darah yang menyebabkan tidak lancarnya darah dan berakhir dengan kematian mendadak. Selain itu Allah juga telah mengharamkan seseorang untuk membinasakan dirinya melalui firman-Nya:“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al Baqarah: 195). Ayat tersebut menggunakan bentuk kata untuk pengingkaran/larangan yang bermakna jauhilah perbuatan merusak diri atau mengarah pada bunuh diri. Dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan hukum asli dari sebuah larangan adalah haram. Seperti kalimat jangan kalian dekati zina artinya mendekati saja haram apa lagi melakukannya. Maksudnya, ada dua yang diharamkan dalam ayat ini yakni 1. Berzina, dan 2. perilaku atau sarana menuju perzinahan. Begitu pula ayat ‘Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri’, artinya, yang haram yaitu 1. Bunuh diri, dan 2. Perilaku atau sarana apapun yang bisa mematikan diri sendiri. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa rokok hukumnya haram

Ditambah lagi, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Tidak boleh memulai memberi dampak buruk (mudhorot) pada orang lain, begitu pula membalasnya.” (HR. Ibnu Majah no. 2340, Ad Daruquthni 3/77, Al Baihaqi 6/69, Al Hakim 2/66) Dalam hadits ini jelas bahwa perbuatan memberi mudhorot kepada orang lain adalah terlarang. Merokok tidak hanya menimbulkan mudhorot bagi diri sendiri, namun juga orang lain. Bahkan menurut penelitian ilmiah, perokok pasif (orang yang tidak merokok namun tanpa disengaja ia menghirup) juga mendapatkan racun dari asap rokok, dan juga mendapat racun dari udara yang ditiupkan si perokok yang telah bercampur dengan asapnya. Inilah mudharat (kerusakan) yang telah dibuat oleh para perokok aktif kepada orang laindampak yang lebih buruk daripada perokok aktif.

Hasil penelitian kedokteran di zaman sekarang memperkuat penemuan dunia kedokteran di masa lampau bahwa merokok menyebabkan berbagai jenis penyakit kanker, penyakit pernafasan, penyakit jantung, penyakit pencernaan, berefek buruk bagi janin, juga merusak sistem reproduksi, pendeknya merokok merusak seluruh sistem tubuh. Karena itu, sangat tepat fatwa yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga fatwa di dunia Islam, seperti fatwa MUI yang mengharamkan rokok.

Dari Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabdah : “Di antara baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Imam At Tirmidzi, ia berkata ‘hasan’. Bulughul Maram, Bab Az Zuhd wal Wara’, hal. 277, hadits no. 1287. Darul Kutub al Islamiyah) tanda baiknya kualitas Islam seseorang adalah ia meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfaat. Rokok tidak membawa manfaat apa-apa, kecuali ancaman bagi kesehatan dan jiwa dan pemborosan..sedans dalam QS. Al Isra’ ayat 27 Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya” Tidak ragu pula, hobi merokok tindakan tabdzir (pemborosan) dan penyia-nyiaan terhadap harta. Mereka tidak mendapatkan apa-apa dari rokok kecuali ketenangan sesaat, bahaya penyakit yang mengancam jiwa, dan terbuangnya uang secara sia-sia. Bahkan, Allah SWT menyebut mereka sebagai saudara-suadara syaitan..

Referensi:
http://www.konsultasisyariah.com/hukum-rokok-dalam-islam/
https://www.facebook.com/MySafetyandHealth/posts/206994706036430
http://www.alkhoirot.net/2012/07/hukum-rokok-dalam-islam.html
http://www.belajar-fiqih.blogspot.com/2014/10/hukum-merokok-dalam-islam.html
https://www.facebook.com/notes/majelis-quran/dalil-dalil-syari-tentang-haramnya-rokok-beserta-jawaban-untuk-para-dai-pembela-/374085703740
http://salafy.or.id/blog/2004/01/11/hukum-merokok-dalam-islam/
http://ridwanaz.com/islami/fiqih/hukum-merokok-dalam-islam-halal-haram-atau-hanya-makruh/ 



baca juga:

Fiqh Khilafiyah NU-Muhammadiyah: Seputar Hukum (Me)Rokok
HUKUM ROKOK DALAM ISLAM ADALAH HARAM ATAU MAKRUH