M. Yusuf Amin Nugroho
Namun
jika garis batas wujudul hilal membelah dua wilayah kesatuan Republik
Indonesia dan sebagian besar sudah wujud maka diberlakukan konsep matla’
sebagaimana yang tertuang dalam putusan Munas Tarjih di Makassar.
Referensi:
Satu
pertanyaan yang seringkali muncul di kalangan umat Islam adalah,
mengapa sering terjadi perbedaan awal Ramadhan, dan jatuhnya Hari Raya,
baik Idul Fitri/Idul Adha? Jawaban singkatnya, karena terdapat perbedaan
metode dalam penentuan awal bulan.
Selain
Departemen Agama—yang kini telah berubah nama menjadi Kementerian
Agama—dua ormas terbesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah selalu
andil dalam menentukan awal Ramadhan, dan jatuhnya Idda’in (dua hari
raya). Namun keduanya memiliki metode yang berbeda dalam penetapan awal
Ramadhan dan jatuhnya Idda’in. NU menggunakan metode rukyat . Sedangkan
Muhammadiyah lebih cenderung menggunakan metode Hisab Astronomi, meski
tidak meninggalkan sepenuhnya metode rukyat .
1. Nadhatul Ulama
Dalam
menentukan kepastian awal bulan Qamariyah, khususnya awal Ramadan, awal
Syawal, dan awal Dzulhijjah, NU mendasarkan pada rukyat , bukan pada
hisab; sesuai dengan nash dan aqwalul ‘ulama’ yang dipegangi, demikian
keterangan dalam situs resmi NU. Namun, seiring perjalanan waktu NU yang
semula mendasarkan pada rukyat maju menjadi rukyat plus hisab dan
seterusnya rukyat berkualitas plus hisab akurat, kemudian ditambah lagi
menerima kriteria imkanur rukyat . Jadi NU mendasarkan kepada rukyat
berkualitas dengan dukungan hisab yang akurat sekaligus menerima
kriteria imkanur rukyat .
NU
telah melakukan redefinisi hilal dan rukyat menurut bahasa, Al-Qur’an,
As-Sunnah dan menurut sains sebagai landasan dan pijakan kebijakannya
dalam penentuan awal Ramadhan, dan jatuhnya hari raya Idul Fitri dan
Idul Adha.Menurut Ghazalie Masroeri, Ketua Pengurus Pusat Lajnah
Falakiyah Nahdlatul Ulama, hilal dalam bahasa Arab adalah sepatah kata
isim yang memilik pengertian, bulan sabit yang tampak pada awal bulan.
Firman Allah yang artinya:
Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu
adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan
bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi
kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke
rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar
kamu beruntung. (Q.S. Al-Baqarah:189)
Al-Qur’an
surat Al-Baqarah ayat 189 di atas mengemukakan pertanyaan para Shahabat
kepada Nabi tentang penciptaan dan hikmah ahillah (jamak dari hilal).
Atas perintah Allah SWT kemudian Rasulullah SAW menjawab bahwa ahillah
atau hilal itu sebagai kalender bagi ibadah dan aktifitas manusia
termasuk haji. Pertanyaan itu muncul karena sebelumnya para sahabat
telah melihat penampakan hilal atau dengan kata lain hilal telah tampak
terlihat oleh para sahabat.
Para
mufasir telah mendefinisikan, bahwa hilal itu mesti tampak terlihat.
Ash-Shabuni dalam tafsirnya Shafwatut Tafasir juz I mengemukakan tafsir
ayat tersebut sebagai berikut: “Mereka bertanya kepadamu hai Muhammad
tentang hilal mengapa ia tampak lembut semisal benang selanjutnya
membesar dan terus membulat kemudian menyusut dan melembut sehingga
kembali seperti keadaan semula?”
Dalam
pada itu Sayyid Quthub dalam tafsirnya Fii Zhilalil Qur’an juz I
menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut: “Maka mereka bertanya tentang
ahillah (hilal) … bagaimana keadaan ahillah (hilal)? Mengapa keadaan
qamar (bulan) menampakkan hilal lalu membesar sehingga bulat menjadi
purnama selanjutnya berangsur menyusut sehingga kembali menjadi hilal
lagi dan kemudian menghilang tidak tampak untuk selanjutnya menampakkan
diri menjadi hilal dari (bulan) baru?”
Jadi, berdasarkan ayat tersebut didapat pengertian, hilal atau bulan sabit itu pasti tampak terlihat.
Masalah
hilal juga sudah diterangkan dalam hadist Nabi Saw. Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud dari sahabat Nabi SAW bernama
Rib’i bin Hirasy yang mengatakan adanya perbedaan di kalangan para
sahabat mengenai akhir Ramadhan kemudian ada laporan hasil rukyat ;
perukyat melaporkan dengan ungkapan:
“Demi Allah sungguh telah tampak hilal kemarin sore.”
Hadits tersebut menyatakan bahwa hilal itu pasti tampak terlihat. Demikian pula dalam hadits-hadits yang lain.
Sementara
itu hilal atau bulan sabit dalam istilah astronomi disebut crescent,
yakni bagian dari bulan yang menampakkan cahayanya terlihat dari bumi
ketika sesaat setelah matahari terbenam pada hari telah terjadinya
ijtima’ atau konjungsi.
Dari
tinjauan bahasa, Al-Qur’an, As-Sunnah dan tinjauan sains sebagaimana
diutarakan di atas, Ghazalie Masroeri menyimpulkan bahwa hilal (bulan
sabit) itu pasti tampak cahayanya terlihat dari bumi di awal bulan,
bukan sekedar pemikiran atau dugaan adanya hilal. Oleh karena itu kalau
tidak tampak tidak disebut hilal.
Sehubungan
dengan kriteria hilal itu mesti tampak, maka Rasulullah SAW menyuruh
kaum muslimin melakukan rukyat, yakni dengan melihat, mengamati secara
langsung (observasi) terhadap hilal itu.
Lebih
jauh, alasan NU dalam penggunaan metode rukyat adalah bahwa dalam
memahami, menghayati, dan mengamalkan ad-dinul Islam, harus mendasarkan
pada asas ta’abbudiy (ketaatan). Untuk mewujudkan kesempurnaan
ta’abbudiy tersebut perlu didukung dengan menggunakan asas ta’aqquliy
(penalaran). Dalam konteks ini, asas ta’abbudiy dilaksanakan dengan
mengamalkan perintah rukyatul hilal.
Dalam
buku Antologi NU diterangkan, kebijakan ulama salaf (jumhur ulama)
berpendapat bahwa penetapan (isbat) awal Ramadhan dan Syawal hanya boleh
dengan cara rukyat. Jika rukyat tidak bisa berhasil karena terhalang
oleh mendung misalnya, maka digunakan cara istikmal, yakni
menyempurnakan hitungan menjadi 30 hari. Jadi, dalam konteks ini
istikmal bukanlah metode tersendiri, tetapi metode lanjutan ketika
rukyat tidak efektif. Prosedur tersebut sebagaimana hadis Rasulullah
Saw:
Berpuasalah
kalian karena melihat bulan, dan berbukalah (tidak berpuasa lagi)
karena melihatnya. Apabila kalian tidak melihatnya karena mendung,
sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban sampai tiga puluh hari (HR.
Bukhari dan Muslim).
Pendapat NU berkaitan dengan masalah yang sedang kita bicarakan ini, merupakan metode penetapan puasa
dan Idul Fitri yang diikuti oleh semua Imam Madzhab yang empat (Hanafi,
Maliki, Hambali dan Syafi’i). Hanya saja kalangan Imam Syafi’i masih
mengakomodasikan metode hisab dan memperbolehkannya sebagai dasar bagi
para ahli hisab itu sendiri dan mereka mempercayai kebenarannya.
Rais
Amm PBNU Sahal Mahfudh pernah berpendapat bahwa kedudukan hisab
merupakan metode pendamping. Yakni sekadar digunakan untuk memperkirakan
(secara teoritik) apakah rukyat dapat dilakukan atau tidak.
Dipakainya
metode hisab dalam NU hanya sebagai hisab penyerasian NU dengan
pendekatan rukyat yang diputuskan dalam musyawarah ‘ulama’ ahli hisab,
ahli astronomi, dan ahli rukyat . NU beranggapan bahwa hisab penyerasian
NU mempunyai tingkat akurasi yang sangat tinggi, lebih dari 90% sesuai
dengan hasil rukyatul hilal bil fi’li. Kemudian Kementerian Agama pun
membuat semacam sistem penyerasian untuk mengatasi perbedaan yang
terdapat dalam berbagai metode hisab.
Adapun
tahap-tahap penentuan awal bulan Qamariah, khususnya awal bulan
Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah, perspektif NU,
sebagaimana ditulis KH. A. Ghazalie Masroeri adalah melalui empat
tahap, yaitu:
1. Tahap pembuatan hitungan hisab
2. Penyelenggaraan rukyatul hilal
3. Berpartisipasi dalam sidang itsbat
4. Ikhbar
Ilmu
falak telah berkembang di kalangan NU sejak abad 19. Lembaga-lembaga
pendidikan NU, seperti pesantren dan madrasah memberikan pendidikan ilmu
falak/hisab. Dari pendidikan itu lahirlah ulama-ulama ahli falak/hisab
NU tersebar di seluruh Indonesia.
Lajnah
Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) didirikan dari tingkat pusat sampai
daerah sebagai wadah berhimpunnya ahli hisab, astronom, dan ahli rukyat;
penyelenggarakan diklat hisab dan rukyat juga digelar dari tingkat
dasar sampai tingkat mahir yang bertujuan untuk menangani
masalah-masalah kefalakiyahan dan pemanfaatannya.
Setiap
menjelang awal tahun Hijriyah, LFNU menyelenggarakan musyawarah ahli
hisab, astronom, dan ahli rukyat untuk merumuskan hitungan hisab
kalender tahun-tahun berikutnya. Hisab jama’iy/kolektif/penyerasian,
diumumkan melalui almanak setiap tahun dan digunakan untuk
penyelenggaraan rukyatul hilal.
Sesungguhnya
rukyat/observasi terhadap benda-benda langit khususnya bulan dan
matahari telah dilakukan ribuan tahun sebelum masehi. Rukyat demi
rukyat, observasi demi observasi dilakukan kemudian dicatat dan
dirumuskan, lahirlah ilmu hisab/ilmu astronomi.
Rukyat/observasi,
demikian KH A Ghazalie Masroeri, adalah ibu yang melahirkan ilmu hisab
dan astronomi. Tanpa rukyat/observasi tak akan ada ilmu hisab dan
astronomi.
Rukyat
yang diterima di Indonesia ialah rukyat Nasional, yakni rukyat yang
diselenggarakan di dalam negeri dan berlaku satu wilayah hukum.
Perbedaan hasil rukyat di Indonesia dengan Negara lain seperti Saudi
Arabia tidaklah menjadi masalah.
Dengan
panduan dan dukungan ilmu hisab, maka rukyat diselenggarakan di
titik-titik strategis yang telah ditetapkan (sekitar 55 tempat) di
seluruh Indonesia di bawah koordinasi LFNU di pusat dan di daerah.
Pelaksana rukyat terdiri dari para ulama’ ahli fiqh, ahli rukyat, ahli hisab, dan bekerja sama dengan ormas Islam dan instansi terkait.
Rukyat
diselenggarakan dengan menggunakan alat sesuai dengan kemajuan
teknologi dan yang tidak bertentangan dengan syar’i. Jadi, bukan dengan
mata telanjang, melainkan sudah dibantu dengan alat yang canggih.
Setelah
rukyat dilakukan, kemudian hasilnya dilaporkan kepada PBNU. Dari
laporan-laporan itu sesungguhnya NU sudah dapat mengambil keputusan
tentang penentuan awal bulan, tetapi tidak segera diumumkan melainkan
dilaporkan lebih dulu ke sidang itsbat, dengan tujuan agar keputusan itu
berlaku bagi umat Islam di seluruh Indonesia.
Hal
tersebut mengikuti apa yang sudah dilakukan para Sahabat Nabi. Ketika
para Sahabat berhasil melihat hilal, tidak serta-merta mereka
menetapkannya dan mengumumkan kepada masyarakat mendahului penetapan
Rasulullah SAW.
Hasil
rukyat dilaporkan kepada Rasulullah SAW. Selanjutnya beliau sebagai
Rasul Allah maupun sebagai kepala negara menetapkannya. Sebagaimana
tersebut dalam hadits:
“Dari
Abdullah bin Umar ia berkata: orang-orang berusaha melihat hilal
(melakukan rukyatulhilal) lalu saya memberitahu kepada Rasulullah SAW
bahwa sesungguhnya saya telah melihat hilal, maka beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar supaya berpuasa”. (HR Abu Dawud, Daruquthni, dan Ibnu Hibban)
Setelah
setelah dikeluarkan itsbat, maka NU mengeluarkan ikhbar (pemberitahuan)
tentang sikap NU mengenai penentuan awal bulan Ramadhan, awal bulan
Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah atas dasar rukyatul hilal yang
didukung dengan hisab yang akurat sesuai dengan kriteria imkanur rukyat.
Ikhbar
ini adalah hak PBNU untuk menetapkan hasil rukyat yang dikeluarkan
setelah itsbat, dan merupakan bimbingan terhadap warga NU, yang secara
jam’iyyah (kelembagaan) harus dilaksanakan.
Sementara
itu, dalam masalah matla' (pemberlakuan wilayah rukyat), apakah rukyat
berlaku untuk rukyat lokal, nasional, ataukah internasional. NU
menetapkan rukyat nasional wilayatul hukmi Indonesia. Hasil rukyat hilal
di suatu tempat hanya berlaku bagi suatu negara kekuasaan hakim
(pemerintah) yang menetapkan (itsbat) hasil rukyat tersebut.
Matla'
berlaku hanya untuk wilayah hukum suatu negara tertentu dan tidak
berlaku bagi negara lain. Artinya, rukyat hilal berlaku untuk seluruh
kawasan Nusantara berlandaskan satu kesatuan hukum negara sehingga
kesepakatan dan keputusan pemerintah tentang awal Hijriyah khususnya
awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah berlaku untuk seluruh negara
kesatuan RI. NU menolak adanya rukyat internasional yang berkiblat pada
hasil rukyat Arab Saudi.
2. Muhammadiyah
Jika
NU lebih mengutamakan penggunaan rukyat dari pada hisab, maka
Muhammadiyah cenderung menggunakan hisab, meskipun tidak melupakan
metode rukyat. Munir Mulkhan menulis, bahwa Muhammadiyah tetap
menggunakan metode rukyat. Namun demikian berdasarkan perkembangan iptek
dan pola kehidpan masyarakat maka pelaksanaan ru’yat dilakukan dengan
menggunakan hisab.
Dalam
Muktamar Muhammadiyah di Makassar tanggal 1–7 Mei 1932, salah satu
butir keputusannya: “As-Shaumu wal fithru bir ru’yati wala mani’a bil
hisab” (”Berpuasa dan
berbuka [berhari raya] dengan rukyat dan tidak ada halangan dengan
hisab”). Sementara itu dalam Muktamar Tarjih XXVI di Padang tahun 2003
tentang Hisab dan Rukyat diambil kesimoulan bahwa:
a).
Hisab mempunyai fungsi dan kedudukan yang sama dengan rukyat sebagai
pedoman penetapan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah.
b).
Hisab sebagaimana tersebut pada poin satu yang digunakan oleh Majelis
Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah
ialah Hisab Hakiki dengan kriteria wujudul hilal.
c). Matlak yang digunakan adalah matlak yang didasarkan pada wilayatul hukmi (Indonesia).
d).
Apabila garis batas wujudul hilal pada awal bulan Qamariyah tersebut
membelah wilayah Indonesia maka kewenangan menetapkan awal bulan
tersebut diserahkan kepada Kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Selain hal tersebut di atas Tarjih dalam HPT menjelaskan sebagaimanana uraian berikut:
Berpuasa dan
‘Ied Fitrah itu dengan rukyat dan tidak berhalangan dengan hisab.
Dalil-dalil yang digunakan sebagai dasar adalah sebagai berikut:
Firman Allah, artinya:
Dia-lah
yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan
itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).
Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang
mengetahui. (Q.S. Yunus: 5)
Juga Firman Allah yang artinya:
"Tidaklah
mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat
mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya" (Q.S.
Yaasiin : 40).
Diperkuat dengan surat Ar-Rahman yang artinya:
"Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan" (Q.S. Ar-Rahmaan: 5).
Hadis Nabi Muhammad Saw:
Berpuasalah karena
melihat tanggal dan berbukalah karena melihatnya. Maka bilamana tidak
terlihat olehmu, maka sempurnakanlah bilangan sya’ban tiga puluh hari.
(HR. Bukhari).
Juga hadis lain yang artinya:
"Dari
Kuraib (diriwayatkan bahwa) sesunggguhnya Ummu Fadhl binti al-Harits
mengutusnya menemui Mu'awiyah di negeri Syam. Ia berkata: Saya tiba di
negeri Syam dan melaksanakan keinginannya. Dan masuklah bulan Ramadhan
sementara saya berada di negeri Syam. Saya melihat hilal pada malam hari
Jum'at, selanjutnya saya kembali ke Madinah pada akhir bulan Ramadaan.
Lalu Abdullah bin Abbas r.a. bertanya kepada saya dan menyebut tentang
hilal. Ia bertanya: Kapan kalian melihat hilal? Saya menjawab : Kami
melihat hilal pada malam hari Jum'at. Ia bertanya lagi: Apakah kamu
sendiri yang melihatnya ? maka Jawab Kuraib, benar, dan orang yang lain
juga melihatnya. Karenanya Mu'awiyah dan orang-orang disana berpuasa.
Lalu Abdullah ibn Abbas berkata: Tetapi kami melihat hilal pada malam
hari Sabtu, karenanya kami akan terus berpuasa hingga 30 hari (istikmal)
atau kami melihat hilal sendiri. Saya (Kuraib) bertanya: Apakah kamu
(Abdullah bin Abbas) tidak cukup mengikuti rukyatnya Mu'awiyah (di Syam)
dan puasanya. Abdullah bin Abbas menjawab: Tidak, demikianlah yang
Rasulullah saw. perintahkan kepada kami" (H.R. Muslim).
Selanjutnya,
Tarjih Muhammadiyah menyatakan apabila Ahli Hisab menetapkan bahwa
bulan tampak (tanggal) atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan, padahal
kenyataannya ada orang yang melihat pada mu’tabar, maka Majlis Tarjih
memutuskan bahwa rukyatlah yang mu’tabar.
Hal
ini di dasarkan hadis yang artinya: “Menukil hadis dari Abu Hurairah
r.a. yang berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Berpuasalah karena kamu
melihat tanggal dan berbukalah (berlebaranlah) karena kamu melihat
tanggal, bila kamu tertutup oleh mendung, maka sempunakanlah bilangan
bulan Sya’ban 30 hari (HR. Bukhari dan Muslim)
Ismail
Thaib, dalam Majalah Suara Muhammadiyah pernah menulis bahwa Putusan
Muktamar Muhammadiyah di Makassar sebagaimana disebutkan di muka, yakni
“As-Shaumu wal fithru bir ru’yati wala mani’a bil hisab” (”Berpuasa dan
berbuka [berhari raya] dengan rukyat dan tidak ada halangan dengan
hisab”) merupakan putusan yang bijaksana. Namun demikian, tidak
dipungkiri bahwa selama ini Muhammadiyah cenderung mengedepankan metode
hisab dari pada rukyat.
Ismail
secara rinci mencoba menjelaskan kembali masalah hisab sebagai metode
yang digunakan oleh Muhammadiyah dalam penentuan awal Ramadhan, dan
jatuhnya Idul Fitri dan Idul Adha, secara lebih mendalam dilihat dari
sudut pandang syariat Islam. Menurutnya, perintah Nabi Saw dalam
sabdanya yang artinya: “Berpuasalah kamu karena melihat bulan dan
berbukalah (berhari raya) kamu karena melihat bulan..” mesti ditafsirkan
tidak sempit. Bahwa perintah Nabi itu dan Hadits-hadits lain yang
semakna dengan itu masih bersifat lepas (mutlak) belum dikaitkan dengan
illat. Oleh karenanya, demikian Ismail, apabila ada nash (Hadits) lain
yang memautkan perintah itu dengan suatu illat, maka ketika itu
persoalannya menjadi lain, menjadi berbeda dan illat itu ada pengaruhnya
dalam pemahaman Hadits tersebut dan hukum berjalan sesuai dengan illat
itu dalam penjabaran (tathbiq) atau operasionalnya.
Penggunaan
metode hisab oleh Muhammadiyah didasarkan pada alasan, salah satunya
adalah Hadits Nabi sebagaimana tersebut di atas, bukanlah satu satunya
hadits dalam masalah hilal, tetapi masih ada lagi hadits lain yang lebih
jelas menjelaskan illat-nya, yaitu hadits riwayat Muslim dan
lain-lainnya, di mana Nabi bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya
kita ummat yang ummi (buta aksara) tidak bisa menulis dan tidak bisa
menghitung (hisab), bulan itu begini dan begini”
Hadits
di atas menurut Ismail, dianggap pokok dalam masalah hisab, karena
seakan-akan Rasulullah mengatakan bahwa berpegang kepada rukyat lantaran
kebanyakan umat Islam di masa beliau buta aksara, belum mengenal ilmu
hisab.
Di
dalam sebuah buku tentang Pedoman Hisab Muhammadiyah, disebutkan bahwa
dalam konteks ke-Indonesiaan penggunaan hisab lebih memungkinkan dan
lebih praktis karena dapat menentukan tanggal jauh sebelumnya dan dapat
menentukan masa depan secara lebih pasti, sehingga persiapan-persiapan
dapat dilakukan secara lebih tepat perhitungan dan jauh sebelumnya.
Perhatian dan orientasi ke depan adalah salah satu prinsip ajaran Islam
dan sekaligus cermin sikap modern. Selain itu penggunaan hisab ini juga
mencerminkan kepercayaan Muhammadiyah kepada ilmu pengetahuan, yang juga
merupakan prinsip ajaran Islam dan sekaligus ciri kemodernan.
Sementara
itu, bila garis batas wujudul hilal membelah dua wilayah kesatuan
Republik Indonesia yang "besarnya hampir sama", maka Pimpinan Pusat
Muhammadiyah akan menggunakan kriteria wujudul hilal nasional dalam
menentukan awal bulan Qamariah, khususnya awal Ramadan, Syawal, dan
Zulhijah. Kriteria wujudul hilal nasional merupakan teori di mana awal
bulan Qamariah dimulai apabila setelah terjadi ijtimak (conjunction)
matahari tenggelam terlebih dahulu dibandingkan bulan (moonset after
sunset); pada saat itu posisi bulan di atas ufuk di seluruh wilayah
Indonesia. Artinya pada saat matahari terbenam (sunset) secara filosofis
hilal sudah ada di seluruh wilayah Indonesia.
Referensi:
1. KH Muhyidin Abdusshomad, Hujjah NU Akidah-Amaliah-Tradisi, Khalista Surabaya: 2008
2. PP Rabithah Ma’hadil Islamiyah, Masalah Kegamaan: Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdhatul Ulama, Dinamika Press, Surabaya: 1977.
3. H. Soelleiman Fadeli dan Muhammad Subhan, S.Sos, Antologi NU, sejarah Istilah Amaliah, Uswah, Khalista, Surabaya: 2007
4. Abdul Munir Mulkhan, Masalah-Masalah Teologi dan Fiqh dalam Tarjih Muhammadiyah, Roykhan, Yogyakarta: 2005
5. PP. Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Persatuan, Yogyakarta, 1974.
6. Majalah Suara Muhammadiyah
7. Majalah Aula
8. Berbagai sumber di internet di antaranya:
a. www.nu.or.id