Mencari Makna 'Idul Fitri


sumber gambar: di sini
“Sidang Isbath penentuan 1 Syawal 1433 Hijriyah” belum lama diumumkan di televisi. Di luar kamar, letup-letus kembang api saling bersahutan. Agaknya malam ini begitu meriah.
Malam Lebaran: Bulan di atas kuburan, demikian Sitor Sitomorang menulis dalam puisinya. Puisi yang hanya satu baris itu telah begitu terkenal dan ditafsirkan macam-macam. Sementara orang menafsirkan puisi tersebut: bahwa Lebaran atau Idul Fitri selain dikenal sebagai hari kemenangan, telah menjadi hari kekalahan bagi sebagian orang—sebagaimana dilambangkan dengan kata ‘kuburan’.

Kenapa kalah? Mungkin karena hari kemenangan yang semestinya kita rayakan dengan mengagungkan asma Allah (takbiran) sehingga kita benar-benar merasa menjadi hamba (makhluk), telah disalahtafsirkan dengan perayaan yang justru menjauhkan kita dari Tuhan. Takbir keliling, misalnya, mungkin sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Indonesia. Sebenarnya bagus saja, jika itu tidak ada larangan dari Ulil Amri (Bupati, MUI, Dll). Tetapi jika ritual tahunan itu hanya sebatas hura-hura, pawai di jalan, bikin polusi dan menghambur-hamburkan harta, tentu itu tidak sejalan dengan semangat Malam Lebaran. Kembang api dan petasan tidak jauh beda. Kita mungkin ingin menunjukkan kebahagiaan dan kemenangan karena telah berpuasa sebulan penuh, hanya saja cara yang digunakan kurang tepat. Saya terkadang membayangkan, jika uang untuk mercon dan kembang api itu dikumpulkan kemudian diberikan kepada orang yang membutuhkan. Betapa akan jauh lebih bermakna dan bermanfaat.
Lebaran telah terlanjur—dan memang demikian semestinya—diposisikan sebagai hari yang istimewa bagi kalangan muslim. Macam-macam cara merayakannya, tetapi sebagian baru menyentuh kulitnya saja. Lebaran selalu identik dengan baju baru, kue dan sirup. Demi itu semua orang rela berdesak-desakkan di pasar, mencari pinjaman ke sana-sini, dan tidak sedikit pula yang melakukan cara-cara yang tidak benar; kita dengan mudah akan mengerti kenapa setiap jelang lebaran kasus pencurian meningkat.
Lebaran dengan baju baru dan kue-kue, apakah salah? Sama sekali tidak. Yang salah adalah, menganggap bahwa baju baru, kue-kue, sirup, ketupan, bahkan daging sapi, sebagai sesuatu yang wajib ada saat Lebaran. Tapi bagaimanapun, fenomena tersebut sudah terlanjur menjadi budaya yang sangat sulit untuk dihilangkan. Mungkin yang bisa kita lakukan hanyalah mengoreksi (menjaga) diri kita masing-masing; bahwa perangkat-perangkat Lebaran di atas hanyalah bersifat material. Substansi dari Ramadhan, inti dari tujuan kita berpuasa berpuasa adalah menuju kepada ketakwaan. Dan perayaan Idul fitri, menurut Quraish Shihab, semestinya dilakukan dengan tiga unsur, yaitu benar, baik dan indah.
Rasulullah bersabda, Man shama Ramadhana imanan wahtisaban, ghufira lahu ma taqaddama min dzambik (barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan dasar Iman dan mengharap pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah lampau). K.H. A Musthafa Bisri (Gus Mus) dalam Kompas (18/8) hari ini telah menuliskan bahwa, Allah mungkin telah memaafkan dosa-dosa kita karena puasa yang didasari iman dan pengharapan pahala dari-Nya, tetapi dosa-dosa kita kepada sesama manusia mestilah mesti terlebih dulu mendapatkan pengampunan dari yang bersangkutan. Karena itulah, 'Idul Fitri dirayakan dengan halal-bi halal, saling menghalalkan (memaafkan) kesalahan dan kekhilafan satu dengan yang lain sehingga kita benar-benar bersih dari dosa (kepada Allah dan sesama manusia). 
Semoga puasa kita bukan hanya mendapatkan pengalaman lapar dan haus semata tetapi benar-benar membekas dalam akhlak kita. Sehingga sekeluarnya kita dari bulan Ramadhan ini, kita menjadi bertambah giat mengerjakan amal-amal shalih. Amin…amin…ya Rabbal ‘alamin.
Kami, atas nama admin blog Pemburu-Ilmu.web.id mengucapkan SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1433 H. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang menang dan kembali (fitri). Mohon Maaf segala salah dan Khilaf. (M. Yusuf Amin Nugroho)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »