“Kasih Nilaimu Sendiri”

11092012455Menghadapi siswa memang harus ekstra sabar. Jika tidak, maka gurulah yang akan mati karena stress. Betapa tidak? “Siswa jaman sekarang,” kata orang, “berbeda dengan dulu.”

Dulu? Tahun berapa? Ketika saya jadi siswa Madrasah Tsanawiyah dulu, mental dan akhlak teman-teman saya nyaris sama dengan para siswa sekarang. Suka adu otot, meloncat pagar, melawan guru, olok-olokan nama orangtua, senang mencontek, dan gembira ria jika pulang lebih awal karena Bapak/Ibu guru ada rapat.

Beghh, jadi Guru, penuh tantangan! Untungnya saya pernah jadi siswa, jadi cukup bisa mengerti psikis mereka. Namun begitu, tetap saja, kadang-kadang seorang guru jengkel dengan siswa, itu hal biasa. Meski guru yang baik mestinya tidak demikian. Berarti saya belum guru yang baik karena masih suka jengkel? Jengkel karena cinta, bagaimana? Menjewer kuping siswa demi agar mereka kapok dengan kebengalannya? Tidak! Saya tahu, kekerasan dalam bentuk apapun sulit untuk merubah mental. Justru siswa akan melonjak. Nantang kelahi. Masya Allah. Hukuman fisik hanya akan membuat siswa terteror dan patuh-patuh ala kucing. Meski, hehe, kadang-kadang jewer siswa juga sih, tapi yang siswa putra, sebab siswa putri telinganya tidak kelihatan. Bukankah tugas guru, selain mengajar juga menghajar, eh maskud saya mendidik. Ah, barangkali kalau cuma cubitan atau jeweren kecil tidak apa-apa, selama itu disertai sentuhan kasih sayang. Allahmumma, amin.

Tapi siang itu, ya Ampun. Waktu itu ada ulangan harian mata pelajaran Akidah Akhlak. Seperti biasa, sebelum ulangan dimulai saya selalu memperingatkan agar siswa mengandalkan kemampuannya sendiri. “Cara terbaik mensyukuri pemberian Allah berupa otak adalah menggunakannya dengan sebaik-baiknya. Melirik kanan-kiri, mencoba mencari jawaban teman, sama saja kalian sedang latihan korupsi. Nilaimu boleh berapa saja, tetapi kejujuranmu harus seratus. Kalian ini pelajar bukan politikus. Yang terpenting adalah prosesnya. Berlawanan dengan politikus yang mementingkan hasil ketimbang proses. Sekarang, duduknya agak direnggangkan. Tutup bukumu dan buka pikiranmu.”

Lalu saya bacakan soal. Siswa mengerjakan. Belum apa-apa sudah ada yang tengok kanan kiri. Bisik kanan-kiri. Bola mata melirik liar. Saya menarik napas panjang. Jadi apakah mereka tidak mendengar ocehan saya? Jadi kenapa saya harus ngoceh banyak-banyak sampai suara serak? Jadi, selama ini, buat apa saya jadi guru kalau tidak bisa mengubah kebiasaan mereka berburu jawaban soal demi nilai yang fana? Jadi, “Sabar, sabar!” Saya bisiki hati saya sendiri. Saya mengelus dada.

Terpaksa saya harus ngoceh lagi mengingatkan mereka. Semua siswa terdiam, khusuk sesaat, barangkali jera. Tapi kemudian mulai lagi. Dan saya mengingatkan mereka lagi. Dan mulia lagi. Dst…
Itulah fenomena yang terjadi. Di semua kelas. Dalam semua ulangan harian, ulangan umum, ujian. Mengatur siswa, sungguh, tidak segampang menghapi teori pendidikan.

Tapi ulangan harus tetap berlanjut, kali ini ke soal essai. Dan entah kenapa mendadak saya terpikirkan sesuatu. Sesuatu itu, mungkin semacam gagasan yang muncul dari sebuah kejengkelan atau kejengahan. Entahlah. Saya sudah cukup sabar dan sadar kalau sabar tidak ada batasannya. Tetapi gagasan itu menuntut segera dibumikan.

Sejenak setelah lima soal essai saya bacakan, saya berdiri tegap di depan: “Ini pelajaran Akidah Akhlak. Akidah dan Akhlak. Kalian sudah percaya dengan sesuatu yang tidak atau belum kalian lihat. Allah dan Malaikat. Saya akan meninggalkan ruangan ini dan menantang kalian untuk jujur. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Malaikat yang tak terlihat, kalian akan menyelesaikan tantangan ini dengan baik. Kita akan buktikan, siapa di antara kalian yang benar-benar beriman!”

Lalu saya pergi. Melenggang dengan kepala yang berat. Pergi dan udud sambil menebak, bagaimana gagasan konyol saya itu bekerja. Diam-diam saya berharap, semua siswa mengerjakan ulangan dengan mengandalkan kemampuan sendiri, tanpa membuka buku atau pun meniru jawaban teman.

Sekitar dua puluh menit kemudian saya kembali masuk ke dalam kelas. Keramaian seketika senyap, seolah-olah saya memiliki seribu tangan yang bisa membungkam mulut-mulut mereka. Selintas saya melihat seorang siswa baru saja menutup contekannya. Dan huh! Saya membuang lenguh.
“Belumlah guru jika tidak mampu membedakan jawaban yang asli hasil garapan sendiri dengan jawaban yang nyontek atau mencontoh.” Saya tidak mengatakan itu, hanya membatin. Kepada mereka saya hanya katakan, “Saya akan cek satu persatu!” Lalu saya memulai dari bangku depan pojok kanan yang diduduki dua siswa putri. Insting guru saya segera bekerja dan menemukan bahwa mereka telah berlaku curang. Jawaban mereka tidak sama persis, tetapi tanda-tanda kecurangan tampak jelas. Lalu bangku di belakangnya. Sama saja. Belakangnya, alhamdulillah aman. Belakangnya, lebih parah lagi, sebab sudah jelas saling mencontoh tetapi tidak mau mengaku.

“Sekarang begini saja enaknya, saya tanya siapa yang tadi sudah berbuat curang?”

Dari sekitar 35 anak, hanya empat yang tidak tunjuk jari.

Saya geleng-geleng kepala. Getir. Jadi yang beriman pada Allah dan Malaikat di sini cuma empat anak?
“Saya sedih,” gumam saya seraya menunduk. “Saya harus ngoceh apa lagi?” Masih senyap. “Atau, gini saja, sekarang kalian buat nilai kalian sendiri saja. Mau dikasih nilai seratus, silahkan, mau seratus dua puluh juga boleh. Apakah dengan nilai itu kalian menjadi puas, senang, dan merasa telah menguasai materi? Nanti akan saya panggil satu-satu nama kalian dan nilai kalian saya masukkan ke buku nilai.”
Semua siswa terperangah. Kaget. Sebagian nyengir. Merasa sia-sia telah berjuang mati-matian demi nilai. Saya cukup lega, dan yakin keputusan saya bisa memberikan mereka pelajaran bahwa nilai bukanlah segalanya.

Sayangnya, tidak siswa yang menyebutkan angka seratus ketika saya panggil namanya. Paling tinggi mereka memberi nilai 75 dan terendah 40 untuk diri mereka sendiri. Syukurlah, itu artinya, mereka cukup tahu diri dan masih punya rasa malu.
















Share this

Related Posts

Previous
Next Post »