Puasa Yang (Tidak) Biasa



Menuju Puasa yang Sebenarnya

“Marhaban Ya Ramadhan.” Demikianlah, kaum Muslim di seluruh dunia bersuka cita menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Di Indonesia, aroma Ramadhan bahkan sudah tercium jauh hari sebelum Kementerian Agama menggelar sidang isbath. Jalanan yang macet, pasar yang sesak, harga-harga yang melambung, dentum petasan serta iklan-iklan sirup di televisi seakan menjadi pertanda akan datangnya bulan penuh berkah.

Ramadhan sepertinya telah menjadi bulan yang paling dirindukan bagi banyak orang. Di bulan inilah kaum muslim menjalankan ibadah puasa beserta pengiringnya; shalat tawarih, santap sahur, tadarus al-Qur’an, dan bandongan kitab kuning di pesantren dan masjid. Bulan Ramadhan ibarat kawah candradimuka, dimana kita digembleng untuk berperang melawan musuh yang paling besar, yakni nafsu dalam diri kita sendiri.

Menurut Samsul Munir Amin, Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Sains Al-Qur’an Wonosobo, pada hakikatnya puasa adalah amalan lahir dan batin, yang tujuannya adalah la'alalakum tattaqun, membentuk jiwa yang bertaqwa. “Maka jika seseorang melakukan puasa tetapi masih tidak berubah akhlaknya, ia sebenarnya belum melakukan puasa yang sesungguhnya,” katanya.

Penulis lebih dari 30 buku itu melanjutkan, menahan lapar saat berpuasa merupakan bentuk puasa secara lahiriahnya saja, belum puasa batin, belum puasa yang sesungguhnya. Kalau hanya sekadar menahan lapar dari subuh sampai maghrib, itu sudah umum dan biasa. Yang berat adalah menjalankan puasa secara hakikat.

“Kebanyakan kita belum melakukan puasa secara batiniah, karena puasa biasanya hanya dimaknai secara fiqh oriented,” ungkapnya saat ditanya tentang hakikat Puasa. Berpuasa memang sudah menjadi ritual tahunan umat Muslim, tetapi mestinya puasa bukan dijalankan sebagai bentuk kebiasaan atau tradisi, melainkan sebaai kewajiban yang harus dijalankan atas dasar iman.  Dengan demikian, Munir menegaskan, puasa harus berdampak pada perilaku pelakunya.

Hal tersebut senada dengan apa yang pernah ditulis Al-Ghazali bahwa hakikat puasa ialah memperlemah tenaga yang dipergunakan setan untuk mengajak manusia melakukan kejahatan. Pada saat berpuasa kita dipaksa untuk menahan lapar yang bukan hanya makanan, tetapi juga menahan lapar yang berupa keinginan-keinginan tidak sesuai dengan kebutuhan.

Kalau kita menggunakan ilmu gothak-gathuk-mathuk, maka bisa diketahui taqwa yang menjadi tujuan berpuasa itu sendiri mengandung tiga huruf (ta’, qaf, dan waw) yang masing-masing memiliki makna. Ta’: tawadhu’, artinya rendah hati di hadapan Tuhan dan sesama makhluk. Qaf: qana’ah, nrimo atas segala nikmat yang diberikan Sang Khalik. Dan waw: wara’, menjaga, menghindari, dan risih terhadap hal-hal yang tidak dibolehkan agama. Tiga hal tersebut adalah buah yang akan dipetik oleh orang-orang yang menjalankan puasa yang sebenar-benarnya puasa.

Tapi bagi yang puasanya tidak benar, atau puasa hanya sekadar merubah jadwal makan, apa yang akan didapat? “Negeri ini setiap tahun puasa, tetapi korupsinya tidak pernah puasa,” kata M. Sobary, Budayawan terkemuka dalam sebuah ceramahnya. Ungkapan tersebut terkesan sangat ironis dan pahit, tetapi begitulah kenyataan yang mengemuka di negeri ini. Ungkapan sejenis juga dilontarkan cerpenis AS. Laksana di beranda Facebooknya: "Sebaiknya diakui saja bahwa puasa Ramadhan gagal memperbaiki perilaku orang Indonesia. Ini negara berpenduduk muslim terbesar, korupsinya juga terbesar. Khusus untuk Indonesia, puasa tampaknya perlu diwajibkan setahun penuh."

Waduh, puasa satu tahun, siapa mau? Sebenarnya bukan kurangnya waktu berpuasa, atau puasa Ramadhan yang gagal dan harus disalahkan. Melainkan orang-orang yang menjalankan puasa sebatas ritual keagamaan tanpa adanya penghayatan hingga akhirnya terjatuh sebagai kegiatan rutin yang biasa.

Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Jakarta, pernah menulis, “Di balik aturan-aturan formal yang wajib dipenuhi, salah satu hikmah dan sasaran yang diharapkan dari ibadah puasa adalah terbinanya pribadi dan masyarakat yang memiliki komitmen iman dan moral yang kuat, sehingga tidak terjatuh pada gaya hidup hedonistik-materialistik.” Dan bla, bla, bla… Sepanjang dan sejelas apapun hikmah puasa dijabarkan, Anda sendirilah yang menentukan: apakah akan tetap menjalani puasa yang biasa?

Puisi K.H A. Musthafa Bisri (Gus Mus) barangkali tepat untuk dijadikan bahan renungan: Inilah bulan baik saat baik untuk kerja bakti membersihkan diri.  Inilah bulan baik saat baik untuk merobohkan berhala dirimu yang secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi kau puja selama ini. Atau akan kau lewatkan lagi kesempatan ini seperti Ramadan-ramadan yang lalu. | @jusufan

sumber gambar: http://jalanibrahim.files.wordpress.com

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »